Senin, 21 November 2011

Campus Jazz Festival 2011

Oleh : Esfa Brilliane C. dan Grace Paramythia

Tahun ini telah diselenggarakan Campus Jazz Festival (CJFest) yang diadakan di gedung Balairung UKSW Salatiga. Acara ini berlangsung pada tanggal 17-19 November 2011. Festival ini diadakan pada hari jumat, 18 November 2011 dan diikuti oleh sebelas grup jazz dari beberapa kota seperti Yogyakarta, Semarang, Purwokerto, Solo, dan Salatiga. Dalam kontes jazz ini, ada tiga orang juri yang telah bersedia untuk memberi komentar dan menilai 11 grup jazz itu. Ketiga juri tersebut adalah Danny Salim (dosen Fakultas Seni dan Pertunjukan), Rieka Roslan (penyanyi jazz), dan Nurhadi (dari TTM Edupreneurtainment).

Dari sebelas grup jazz yang mengikuti babak penyisihan, ada enam grup yang berhasil lolos ke fiinal. Penampilan final ini di adakan pada tanggal 19 November 2011 dan tetap bertempat di gedung BU UKSW. Selain itu pada hari yang sama juga diadakan workshop pada pukul 11.00 WIB bertempat di gedung Fakultas Seni Pertunjukan. 

Workshop ini hadiri oleh lima bintang tamu yaitu, Rieke Roeslan (vokalis), Ari Firman (bassis), Aksan Sjuman (Drummer), Nikita Dompas (gitaris), dan Ali Akbar (keyboaris). Dalam workshop ini para bintang tamu membagikan pengalamannya dalam bermusik.

Tanggal 19 November 2011 merupakan puncak dari acara CJFest. Walaupun konser ini dimulai pada pukul 19.00 WIB, depan gedung BU sudah dipenuhi oleh penonton yang mengantri untuk memasuki ruangan. Pembukaan konser ini dibuka dengan penampilan dari FSP Percussion Student Club yang membawakan dua aransement lagu dengan menggunakan kulintang. Kelima bintang tamu yang hadir menampilkan empat lagu yang sudah di aransement yaitu Cobalah Bercermin, Manusia adalah Sama, Dahulu, dan Wanita. Di akhir konser ini kelima bintang tamu mengumumkan pemenang dari CJFest.

Rabu, 02 November 2011

Makrab Fakultas Psikologi 2011

Oleh: Evan Adiananta N.

Fakultas Psikologi telah menyelesaikan rangkaian acara makrab bagi mahasiswa baru angkatan 2011. Berbeda dengan makrab tahun-tahun sebelumnya, jika makrab sebelumnya selalu diadakan selama tiga hari dua malam, makrab kali ini diadakan sebanyak lima kali, yaitu tanggal 24 September, 8, 15, 22 dan 29 Oktober 2011. Apa visi dan misi makrab tahun ini? Apa saja kegiatan selama makrab itu? Kenapa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya?

Pendampingan LK, salah satu sesi Makrab 2011.
Dengan memiliki tujuan makrab pada umumnya, yaitu keakraban mahasiswa, pengenalan kehidupan akademis, serta pembekalan mahasiswa untuk mencapai tujuannya. Maka, makrab yang mengambil tema “Ad Vitam Paramus” ini, diharapkan juga bisa mempersiapkan orang-orang muda untuk berjuang dalam kehidupannya, karena arti dari kata, “Ad Vitam Paramus” itu sendiri adalah, “We are prepare for life,” kata Sudarmadi, ketua acara makrab. Berkaitan pula dengan tulisan “Frontline Generation”, Sudarmadi mengatakan bahwa frontline generation atau generasi garis depan ini diharapkan dan diartikan, ketika seseorang bisa siap bila berada di garis depan, serta bisa menjadi pendobrak atau pergerak adanya suatu perubahan yang positif, khususnya bagi Fakultas Psikologi.

Untuk mencangkup semua tujuan di atas, maka dirancanglah beberapa kegiatan, yaitu outbond, sesi-sesi ceramah dan pendampingan mentor. Tanggal 24 September, peserta diajak untuk kegiatan outbond di areal hutan dekat Bukit Soka, seharian penuh. “Kegiatan outbond ini untuk mencapai tujuan makrab yang pertama, yaitu keakraban mahasiswa,” kata Sudarmadi sambil sedikit tersenyum. Kemudian untuk tercapainya tujuan lainya, yaitu pengenalan kehidupan akademis dan pembekalan mahasiswa untuk mencapai tujuannya, maka dibuatlah beberapa kali sesi ceramah.

Tanggal 8 Oktober, peserta diberikan dua kali sesi ceramah dengan mengangkat tema “Who Am I?” dan “Be a Teachable Person” dengan pembicara Yotam Teddy Kusnandar, aktivis untuk gerakan pemuda dan remaja di Solo. Tanggal 15 Oktober, sesi ini menghadirkan Tony Sambodo, seorang trainer SALT Salatiga, dengan tema “Becoming an Excellent Community”.

Lanjut pada tanggal 22 Oktober, dengan tema “Hidup Berorganisasi”, Yesaya Sandang, dosen filsafat Fakultas TI UKSW, mengajak peserta untuk mengetahui tentang organisasi, khususnya LK. Sedikit berbeda dengan kedua hari sebelumnya, yang setelah sesi berakhir, peserta selalu mendapatkan pendampingan materi oleh mentor saja, pada sesi “Hidup Berorganisasi” ini, peserta juga mendapatkan pendampingan langsung dari para fungsionaris LKF Psikologi. Pada sesi terakhir, tanggal 29 Oktober, sesi kali ini bertemakan sama persis dengan judul sebuah buku, yaitu “Purpose Driven Life”, dengan Pdt. Ester Tulung, Salatiga, sebagai pembicaranya.

Dengan rangkaian acara yang sedemikian berbeda dengan makrab-makrab sebelumnya, diharapkan tujuan yang kedua dan ketiga itu dapat tercapai juga, “berbeda bila kita menggunakan model kamp dengan waktu tiga hari dua malam, selain kita sekarang kesulitan waktu agar tidak mengganggu kuliah, kita pasti akan terforsir tenaganya, baik itu panitia maupun peserta. Nah, inilah yang nantinya akan membuat peserta hanya mendapatkan keakrabannya saja, namun pembekalan mereka akan kurang,” kata Sudarmadi menjelaskan.

“Harapannya untuk makrab ke depan, lebih baik waktunya disingkat saja, karena lima kali pertemuan itu terlalu lama, tidak efektif dan lebih baik menginap karena akan lebih seru dan mengakrabkan,” komentar Nugraha Wareh Putra Kencana, salah satu peserta makrab.

Rabu, 26 Oktober 2011

Ketika Sedang Belajar di Sebuah Kota

Oleh: Elia Okki Trisnawati

Kamis, 9 Juni 2011, saya ikut study tour jurnalistik ke Yogjakarta bersama rombongan Scientiarum (SA) dan teman-teman dari beberapa Fakultas di UKSW. Walau dengan gangguan sakit maag, tapi saya sangat menikmati perjalanan ini. Bertemu dengan orang-orang yang bekerja di jurnalistik “sesungguhnya”.

Tour pertama di Tribun Jogja membuat sedikit perasaan menjadi ciut. Apalagi ketika manajer produksi (saya lupa namanya) memaparkan proses kerja mereka hingga berita tersiar ke seluruh rakyat. “Wow,” dalam benak terbersit perasaan malu karena selama ini ternyata saya dan tim di jurnalistik fakultas banyak sekali kekurangannya. Hahaha. Sempat defense “ah, kita ‘kan masih tunas hijau, wajarlah masih banyak kesalahan sana-sini,” sungguh memalukan kalau tahu bagaimana deadline itu harus ditaati. Bukan seperti di Psychezone (nama KBM Jurnalistik fakultas saya) yang nelat juga masih bisa ditolerir. Hehehe. Tidak lama di kantor Tribun Jogja, kami pun melaju ke Balairung, LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) milik UGM (Universitas Gajah Mada). Di sana kami belajar bagaimana tim Balairung saling bekerja sama. Sangat menarik dengan prosedur yang mereka lakukan dan cukup membuat saya pusing juga. 

Lambung saya tak cukup pintar untuk diajak kompromi, walau saya terus tersenyum alih-alih meredakan sakit (berharapnya begitu) namun cara cerdas saya tetap saja tidak bisa membendung diri untuk meringis. Sumpah! Sakitnya luar biasa hingga saya harus berusaha membuka sebotol obat maag yang bawel dengan bantuan dua kakak (saya juga lupa namanya). Puji Tuhan akhirnya obat itu bisa juga di tenggak. Alhasil, nothing. Karena obat itu bukan obat yang biasa saya minum, maka tak ada reaksi sembuh yang saya dapatkan. Perjalanan menuju Malioboro pun harus saya lakukan dengan meringkuk di kursi bis sembari menahan isak tangis diam-diam.

Akhirnya, Malioboro di depan mata. Saya bingung harus melakukan apa di tempat ini bersama kedua teman saya. Tak ada bawa uang dan memang tak berniat belanja. Pengen jajan, kendala tak ada duit. Apes! Kami memutuskan berjalan di sepanjang trotoar dan berhenti di depan Mal Malioboro. Duduk di deretan selasar. Kami bercanda tak jelas di sana. Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil usia berkisar 4 tahunan mendatangi kami sembari menggelayut manja pada tiang lampu jalan.

“Mbak, minta duit” Saya tercengang. Anak sekecil ini sudah berani minta duit pada orang asing. Apa ada orang yang mengajarinya ya?

Kami bilang, “kakak juga nggak punya duit dek, gimana mau kasi kamu?”

Eh, dijawab sama adik kecil itu, “saya laper, mbak.” 

Tuiinnkkk!!!! 

“Sama donk dek,” kita jawab begitu.

Anak kecil itu ngotot terus minta duit pada kami dan kami ngotot juga menentangnya. Saya inisiatif untuk bertanya, “kelas berapa dek? Kamu sekolah?” Dia menggeleng. 

Sekitar 10 menit kami tak menggubrisnya dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan anak itu. Dalam hati perasaan jengkel, marah dan tak berdaya berkecamuk. Jengkel karena anak kecil itu berani minta duit pada orang asing, marah karena pasti ada orang yang mengajarinya untuk bertindak demikian dan bertanya dalam hati, “di mana keluarganya? Sehingga anak usia sekolah ini minta-minta”.

Tak berdaya, apa yang harus aku perbuat kalau ribuan anak di Indonesia melakukan hal sama seperti anak kecil ini. Tidak sekolah pula. Dana BOS dikemanakan oleh jejeran manusia berdasi yang mengatakan dirinya pejabat pemerintah dinas pendidikan nasional? Bingung. Seingat saya, Indonesia punya undang-undang tentang fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Anggap saja anak kecil itu kesulitan ekonomi, makanya dia harus melakukan tindakan tersebut. Artinya dia ‘kan tanggungan negara. Wah, jangan-jangan saya ketinggalan informasi kalau pasal itu sudah dihapuskan dari undang-undang Indonesia. Hah!

Kami duduk di selasar Mal Malioboro di kanan McDonald, bagian luar maksudnya. Duduk tersandar pada pagar sembari menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang dengan keunikan masing-masing. Mulai dari menebak usia orang-orang yang lewat di depan kami, style berpakaiannya , langsing apa enggak, sampai ukuran sepatunya. Gelak tawa bergulir sepanjang satu jam di selasar itu. Namun, di tengah candaan kami, anak kecil itu datang kembali menghampiri kami. Masih memelas meminta sepeser uang dari kami. Saya perih menyaksikan peristiwa ini, tapi terus menahan airmata jangan sempat bergulir di tempat umum. Seorang temanku meladeninya, hingga Ia sendiri terpancing emosi.

“Eh, lu denger ya. Gue juga gak punya duit alias bokek. Lu enak aja minta-minta duit sama orang. Kalo lu mau uang, kerja sono jangan minta-minta. Lu liat tuh Ibu dan Bapak yang ngamen. Mereka kerja dan gak sekedar minta duit.” 

Kira-kira begitu perkataannya. Anak itu meninggalkan kami. Ah, zaman memang semakin modern. Tapi hidup juga semakin keras. Manusia yang bertahan di kancah kehidupan adalah manusia-manusia hebat. Taruhannya adalah tenaga, kerja keras, ide, pengorbanan waktu sampai uang. Lebih hebatnya lagi demi bertahan hidup dan memuaskan kebutuhan (alih-alih keinginan) beberapa orang yang rakus rela mengorbankan moral dan hati nurani. Jadinya, di dunia ini ada banyak orang seperti anak kecil itu dalam versi yang berbeda. Anak kecil itu secuil representasi orang-orang yang kesulitan ekonomi. Ada lagi representasi dari pengorbanan moral demi kekuasaan. Siapa lagi kalau bukan koruptor. Anak kecil itu membuat otakku berputar kemana-mana. Menjelajah pada kenyataan pahit yang tak bisa kita tutup mata akan hal itu. Untuk apa tutup mata jika mata memang diciptakan untuk melihat. 

Waktu telah menunjukkan pukul 17.30 WIB, ketika kami berjalan pulang menuju bis. Hari ini benar-benar menikmati tawa dalam kesakitan. Maag yang meradang ini belum mau beranjak ternyata, walau saya terus menyiasatinya dengan tertawa bersama teman-teman. Setibanya di bis, kami harus menunggu teman-teman yang belum datang tepat waktu. Hingga waktu menunjukkan pukul 18.05, tak ada tanda-tanda bis akan berangkat. Entah sampai kapan harus menunggu yang lain, kejengkelan dalam hati mulai membara. Hah! On time-nya orang Indonesia, kawula muda pula. Sekitar setengah tujuhan malam (atau lebih), bis baru berangkat. Lambung saya mulai berkontraksi lagi. Kini saya mulai lelah untuk membohongi diri sendiri dan mengakui kesakitan ini. Kami menuju tempat makan, saya tak ingin berlama-lama di sana. Benar. Seolah bisa membaca pikiran saya untuk segera sampai di Salatiga, anak-anak yang lain sudah berada di bis pukul 19.30 WIB. Kami meluncur ke salatiga. Dan saya meringkuk kembali, kali ini di pangkuan teman saya. 

Perjalanan study tour jurnalistik ini benar-benar mengajari saya banyak hal. Mengenai jurnalistik tentu saja dan tak kalah penting tentang bersyukur memiliki hidup sebagai saya sekarang dengan kecukupan yang saya punya. Hingga saya tak perlu minta-minta pada orang lain demi sesuap nasi. Saya punya orangtua yang memelihara saya dan memberi saya uang untuk biaya kuliah serta makan saya di Salatiga. Oh, ya hampir tertinggal juga pelajaran berharga yang lain. Manusia seringkali membohongi dirinya sendiri tentang keadaannya. Sudah tahu dirinya sakit, masih berlagak mengatakan dirinya baik-baik saja. Masih terus berpura-pura kalau dirinya tidak salah, padahal sudah ada bukti yang menunjukkan kesalahannya. Pada akhirnya, kebohongan tersebut akan undur juga. Seperti saya yang harus mengakui bahwa saya tak kuat menahan perih lambung saya.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Guru Besar Pertama Fakultas Psikologi UKSW

Oleh: Grace Paramythia dan Yokebed Tisa Wibowo

Prof. DR. Sutarto Wijono, M.A resmi diangkat sebagai guru besar UKSW dalam acara “Rapat Terbuka Senat Universitas: Pengukuhan Guru Besar Universitas Kristen Satya Wacana” di Balairung Universitas Kristen Satya Wacana, Jumat, 7 Oktober 2011, pukul 09.00 WIB. Para pimpinan universitas, dosen, mahasiswa, serta keluarga dan tamu undangan turut menghadiri acara ini. Acara ini juga diisi oleh Vokal Grup UKSW dan Vokal Grup dari mahasiswa Program Pasca Sarjana Psikologi UKSW.

Pembukaan acara ini diawali dengan laporan Ketua Senat Universitas kepada Rektor UKSW, Pdt. Prof. Drs. John A. Titaley, Th.D. Setelah pembukaan, acara dilanjutkan dengan pembacaan keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan pembacaan riwayat singkat Sutarto Wijono. Sutarto mendapatkan gelar S1-nya pada tahun 1981 di Pusat Bimbingan dan Konseling, Universitas Kristen Satya Wacana. Tahun 1996 mendapatkan gelar S2 di Universitas Kebangsaan Malaysia, dan tahun 2004 mendapatkan gelar S3 di Universitas Indonesia. Sutarto juga telah melakukan beberapa penelitian, mempublikasikan 15 jurnal ilmiah, dan menulis 9 buku.

Sebelum upacara pengukuhan dari Rektor, Sutarto membawakan orasi ilmiah dengan tema “Stress Kerja di Balik Makna dan Dampaknya dalam Organisasi.” Isi keseluruhan orasi ilmiah ini secara lengkap tertulis dalam sebuah buku yang dibagikan kepada seluruh hadirin. Selesai dengan orasinya, maka upacara pengukuhan sebagai guru besar dilaksanakan oleh Rektor, dan berlanjut dengan penyampaian kata-kata sambutan dari Pdt. Prof. Drs. John A. Titaley, Th.D. dan Prof. Dr. Soesmalijah Soewondo selaku promotor dari Sutarto.

Dengan pengukuhan ini, berarti UKSW telah memiliki 19 guru besar, sekaligus guru besar pertama di bidang psikologi.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes