Oleh: Elia Okki Trisnawati
Kamis, 9 Juni 2011, saya ikut study tour jurnalistik ke Yogjakarta bersama rombongan Scientiarum (SA) dan teman-teman dari beberapa Fakultas di UKSW. Walau dengan gangguan sakit maag, tapi saya sangat menikmati perjalanan ini. Bertemu dengan orang-orang yang bekerja di jurnalistik “sesungguhnya”.
Tour pertama di Tribun Jogja membuat sedikit perasaan menjadi ciut. Apalagi ketika manajer produksi (saya lupa namanya) memaparkan proses kerja mereka hingga berita tersiar ke seluruh rakyat. “Wow,” dalam benak terbersit perasaan malu karena selama ini ternyata saya dan tim di jurnalistik fakultas banyak sekali kekurangannya. Hahaha. Sempat defense “ah, kita ‘kan masih tunas hijau, wajarlah masih banyak kesalahan sana-sini,” sungguh memalukan kalau tahu bagaimana deadline itu harus ditaati. Bukan seperti di Psychezone (nama KBM Jurnalistik fakultas saya) yang nelat juga masih bisa ditolerir. Hehehe. Tidak lama di kantor Tribun Jogja, kami pun melaju ke Balairung, LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) milik UGM (Universitas Gajah Mada). Di sana kami belajar bagaimana tim Balairung saling bekerja sama. Sangat menarik dengan prosedur yang mereka lakukan dan cukup membuat saya pusing juga.
Lambung saya tak cukup pintar untuk diajak kompromi, walau saya terus tersenyum alih-alih meredakan sakit (berharapnya begitu) namun cara cerdas saya tetap saja tidak bisa membendung diri untuk meringis. Sumpah! Sakitnya luar biasa hingga saya harus berusaha membuka sebotol obat maag yang bawel dengan bantuan dua kakak (saya juga lupa namanya). Puji Tuhan akhirnya obat itu bisa juga di tenggak. Alhasil, nothing. Karena obat itu bukan obat yang biasa saya minum, maka tak ada reaksi sembuh yang saya dapatkan. Perjalanan menuju Malioboro pun harus saya lakukan dengan meringkuk di kursi bis sembari menahan isak tangis diam-diam.
Akhirnya, Malioboro di depan mata. Saya bingung harus melakukan apa di tempat ini bersama kedua teman saya. Tak ada bawa uang dan memang tak berniat belanja. Pengen jajan, kendala tak ada duit. Apes! Kami memutuskan berjalan di sepanjang trotoar dan berhenti di depan Mal Malioboro. Duduk di deretan selasar. Kami bercanda tak jelas di sana. Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil usia berkisar 4 tahunan mendatangi kami sembari menggelayut manja pada tiang lampu jalan.
“Mbak, minta duit” Saya tercengang. Anak sekecil ini sudah berani minta duit pada orang asing. Apa ada orang yang mengajarinya ya?
Kami bilang, “kakak juga nggak punya duit dek, gimana mau kasi kamu?”
Eh, dijawab sama adik kecil itu, “saya laper, mbak.”
Tuiinnkkk!!!!
“Sama donk dek,” kita jawab begitu.
Anak kecil itu ngotot terus minta duit pada kami dan kami ngotot juga menentangnya. Saya inisiatif untuk bertanya, “kelas berapa dek? Kamu sekolah?” Dia menggeleng.
Sekitar 10 menit kami tak menggubrisnya dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan anak itu. Dalam hati perasaan jengkel, marah dan tak berdaya berkecamuk. Jengkel karena anak kecil itu berani minta duit pada orang asing, marah karena pasti ada orang yang mengajarinya untuk bertindak demikian dan bertanya dalam hati, “di mana keluarganya? Sehingga anak usia sekolah ini minta-minta”.
Tak berdaya, apa yang harus aku perbuat kalau ribuan anak di Indonesia melakukan hal sama seperti anak kecil ini. Tidak sekolah pula. Dana BOS dikemanakan oleh jejeran manusia berdasi yang mengatakan dirinya pejabat pemerintah dinas pendidikan nasional? Bingung. Seingat saya, Indonesia punya undang-undang tentang fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Anggap saja anak kecil itu kesulitan ekonomi, makanya dia harus melakukan tindakan tersebut. Artinya dia ‘kan tanggungan negara. Wah, jangan-jangan saya ketinggalan informasi kalau pasal itu sudah dihapuskan dari undang-undang Indonesia. Hah!
Kami duduk di selasar Mal Malioboro di kanan McDonald, bagian luar maksudnya. Duduk tersandar pada pagar sembari menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang dengan keunikan masing-masing. Mulai dari menebak usia orang-orang yang lewat di depan kami, style berpakaiannya , langsing apa enggak, sampai ukuran sepatunya. Gelak tawa bergulir sepanjang satu jam di selasar itu. Namun, di tengah candaan kami, anak kecil itu datang kembali menghampiri kami. Masih memelas meminta sepeser uang dari kami. Saya perih menyaksikan peristiwa ini, tapi terus menahan airmata jangan sempat bergulir di tempat umum. Seorang temanku meladeninya, hingga Ia sendiri terpancing emosi.
“Eh, lu denger ya. Gue juga gak punya duit alias bokek. Lu enak aja minta-minta duit sama orang. Kalo lu mau uang, kerja sono jangan minta-minta. Lu liat tuh Ibu dan Bapak yang ngamen. Mereka kerja dan gak sekedar minta duit.”
Kira-kira begitu perkataannya. Anak itu meninggalkan kami. Ah, zaman memang semakin modern. Tapi hidup juga semakin keras. Manusia yang bertahan di kancah kehidupan adalah manusia-manusia hebat. Taruhannya adalah tenaga, kerja keras, ide, pengorbanan waktu sampai uang. Lebih hebatnya lagi demi bertahan hidup dan memuaskan kebutuhan (alih-alih keinginan) beberapa orang yang rakus rela mengorbankan moral dan hati nurani. Jadinya, di dunia ini ada banyak orang seperti anak kecil itu dalam versi yang berbeda. Anak kecil itu secuil representasi orang-orang yang kesulitan ekonomi. Ada lagi representasi dari pengorbanan moral demi kekuasaan. Siapa lagi kalau bukan koruptor. Anak kecil itu membuat otakku berputar kemana-mana. Menjelajah pada kenyataan pahit yang tak bisa kita tutup mata akan hal itu. Untuk apa tutup mata jika mata memang diciptakan untuk melihat.
Waktu telah menunjukkan pukul 17.30 WIB, ketika kami berjalan pulang menuju bis. Hari ini benar-benar menikmati tawa dalam kesakitan. Maag yang meradang ini belum mau beranjak ternyata, walau saya terus menyiasatinya dengan tertawa bersama teman-teman. Setibanya di bis, kami harus menunggu teman-teman yang belum datang tepat waktu. Hingga waktu menunjukkan pukul 18.05, tak ada tanda-tanda bis akan berangkat. Entah sampai kapan harus menunggu yang lain, kejengkelan dalam hati mulai membara. Hah! On time-nya orang Indonesia, kawula muda pula. Sekitar setengah tujuhan malam (atau lebih), bis baru berangkat. Lambung saya mulai berkontraksi lagi. Kini saya mulai lelah untuk membohongi diri sendiri dan mengakui kesakitan ini. Kami menuju tempat makan, saya tak ingin berlama-lama di sana. Benar. Seolah bisa membaca pikiran saya untuk segera sampai di Salatiga, anak-anak yang lain sudah berada di bis pukul 19.30 WIB. Kami meluncur ke salatiga. Dan saya meringkuk kembali, kali ini di pangkuan teman saya.
Perjalanan study tour jurnalistik ini benar-benar mengajari saya banyak hal. Mengenai jurnalistik tentu saja dan tak kalah penting tentang bersyukur memiliki hidup sebagai saya sekarang dengan kecukupan yang saya punya. Hingga saya tak perlu minta-minta pada orang lain demi sesuap nasi. Saya punya orangtua yang memelihara saya dan memberi saya uang untuk biaya kuliah serta makan saya di Salatiga. Oh, ya hampir tertinggal juga pelajaran berharga yang lain. Manusia seringkali membohongi dirinya sendiri tentang keadaannya. Sudah tahu dirinya sakit, masih berlagak mengatakan dirinya baik-baik saja. Masih terus berpura-pura kalau dirinya tidak salah, padahal sudah ada bukti yang menunjukkan kesalahannya. Pada akhirnya, kebohongan tersebut akan undur juga. Seperti saya yang harus mengakui bahwa saya tak kuat menahan perih lambung saya.
1 comments:
Semoga teman-teman jurnalistik membagikan tulisannya di sini. #wish
Posting Komentar